Jumat, 28 November 2008

Manusia Penghuni Semesta Tujuuh Warna

Manusia penghuni semesta tujuh warna.
Kala meratap ia bagai lengking seruling.
Dengan segenap kerinduan jiwa yang
membakar wujudnya dan memintanya
bersenandung.
Melodi-melodi keindahan, ia menerawang
semesta ini, tempat segala yang mati
dihidupkan, tanpa iringan.
Denting detak debar jantung. Samudra,
belantara, bebukitan dan lembah-lembah
hening bening.
Matahari, rembulan dan langit tercenung dalam
diam.
Meski bintang-gemintang kelap-kelip di
angkasa, mereka lebih kesepian dari yang
lain, semua juga pecundang.
sebagaimana kita, para pengembara tanpa
daya di langit biru yang perkasa.
Mereka merakit sebuah kereta.
Meski tanpa perlengkapan, mereka tetap
melaju membelah semesta tak bertepi di
sepanjang malam-malam abadi.
Apakah aku seorang pemburu yang merenggut
dunia layaknya hewan buruan atau hanya
seorang sinting yang tak pernah peduli
tangisan batinnya: di mana anak Adam
akan menemukan sahabat?

Kemanakah Arah Pendidikan Kita

Qou Vadis Pendidikan Indonesia? (akan dibawa kemana pendidikan nasional kita), sepertinya masih sangat sulit bagi kita untuk mampu menemukan orientasi atau mengukur prestasi pendidikan bangsa ini. Semakin jauh kita menyelami dunia pendidikan nasional ternyata problematikanya semakin kompleks bagai mengurai benang kusut yang tak jelas mana ujung dan pangkalnya. Tidak usah kita berbicara tentang substansi atau bagaimana model sistem pendidikan yang humanis yang ideal untuk diterapkan guna pendidikan yang lebih berkualitas, bahkan ketika kita meccoba untuk mengupas fragmen parsial seperti dari sisi kebijakan atau regulasi, malah hanya akan membuat kita semakin geleng-geleng kepala. Dimana 20% anggaran APBN untuk pendidikan belum terealisasi, ditambah lagi dengan tidak adanya keseriusan dan arah kebijakan yang jelas untuk pemerataan pendidikan namun di satu sisi muncul kebijakan gila yang sangat tidak logis tentang standarisasi penilaian pendidikan di tengah segala keterbatasan yang ada. Atau memang pendidikan bukan menjadi prioritas utama pemerintah dalam konsep pembangunan bangsa ini, tapi yang semua kita tahu bahwa pendidikanlah yang menjadi cikal bakal lahirnya manusia-manusia Indonesia yang unggul dan berkualitas. Sudah saatnya pemerintah tidak lagi buta tuli atas segala realitas sosial seputar pendidikan bangsa ini, konsisten pada satu komitmen untuk segera merealisasikan 20 % anggaran APBN bagi pendidikan.
“Tidak ada lagi toleransi, tawar menawar dan politik dagang sapi
Atau mahasiswa kembali ke jalan…!”


Potret Hitam Perdagangan Bebas

Globalisasi menjadi sebuah keniscayaan bagi seluruh Negara di dunia yang
secara definitif memiliki makna adanya sebuah proses menuju peningkatan hubungan antara berbagai masyarakat di seluruh dunia. Jadi hubungan internasional yang menjunjung nilai-nilai sosial demokratis, kesetaraan, kesamaan hak dan distribusi kesejahteraan dalam upaya peningkatan taraf hidup sebagai wujud transformasi masyarakat, itulah seharusnya yang menjadi orientasi ndalam laju gerbong globalisasi.

Namun kenyataan yang sangat paradoksal tumbuh seiring dengan kemunculan perdagangan bebas (Free Trade) sebagai aspek parsial dalam globalisasi itu sendiri, yang justru membawa semangat yang berbeda dan bertentangan dengan hakikat globalisasi dimana orientasi utamanya adalah peningkatan kekuatan dan pengaruh Negara-Negara maju dunia melalui tangan-tangan korporasi transnasionalnya di seluruh dunia dengan ideologi konsumerisme dan etos pembangunan yang ditekankan sepenuhnya pada pengambilan keuntungan (akumulasi kapital).

Perdagangan bebas ini sejatinya hanyalah media Negara-negara ekonomi yang tangguh ndalam memuluskan kepentingannya untuk memasarkan produk dalam negerinya keseluruh penjuru dunia dengan tanpa batas, tanpa proteksi, tidak adanya regulasi yang mengikat dan tanpa intervensi pemerintah sebuah Negara. Namun juga harus diingat bahwa selain perdagangan barang dan jasa yang bebas keluar masuk sebuah Negara serta investasi, tenaga kerja-pun nantinya juga menjadi bagian yang akan meramaikan pasar local. Bayangkan bagaimana jadinya kondisi mayoritas Negara di dunia yang masih miskin dan berkembang termasuk Indonesia tanpa adanya campur tangan pemerintah dalam menghadapi ancaman perdagangan bebas ini. Bisa
dipastikan berbagai pilar ekonomi local akan mati, hilang dan tersingkir dengan geliat investasi asing dan membanjirnya komoditi luar, belum lagi bagaimana harus menyelamatkan SDM yang masih harus ditingkatkan kualitasnya ketika harus bersaing dengan tenaga kerja luar yang tidak hanya menonjolkan kecerdasan namum juga good performance. Mungkin bagi meraka yang memiliki budaya konsumtif dan mempunyai kekuatan modal, perdagangan bebas ini menjadi surga yang indah. Tapi kita jangan
sampai terjebak dengan jargon-jargon bahwa perdagangan bebas akan mampu meningkatkan lapangan pekerjaan ataupun slogan pembangunan infrastrktur dalam negeri, toh pada kenyataannya kita hanya akan dijadikan pengemis di atas tanah moyang kita, hanya akan menjadi orang asing dalam rumah sendiri karena semua yang berdiri megah di Indonesia nantinya bukannlah milik anak bangsa melainkan
penjilat-penjilat benua biru (konstelasi Negara maju).