Rabu, 15 Agustus 2012

EKONOMI BAIK HATI



EKONOMI BAIK HATI
(Sebuah perspektif tentang Economiphobia)



Apa yang sebenarnya dicari manusia dalam hidup ini, apakah ekonomi selalu menjadi kambing hitam atas segala kekacauan yang terjadi? Benarkah hal ini yang menjadi bibit dari segala sumber “penyakit” manusia? Itulah sekelumit pertanyaan yang sering muncul dalam pemikiran orang-orang yang selalu diliputi kebimbangan dan keraguan seperti saya (penulis). 

Meskipun logika saya menolak keras segala justifikasi terhadap faktor ekonomi sebagai “biang” dibalik semua ini, namun justru realitas mempertegas hal ini. lihat saja betapa banyaknya kasus perceraian dan perpecahan keluarga yg disebabkan oleh selisih paham soal keuangan. Atau bayangkan saja bagaimana bisa secara sadar orang tua tega menghilangkan nyawa anak keturunannya hanya lantaran himpitan ekonomi, serta masih banyak contoh kasus lainnya dalam skala kecil, sedang atau bahkan problematika yang melibatkan banyak Negara saling berlawanan, kemudian angkat senjata melakukan pembantaian untuk sebuah alasan yang kadang belum jelas, namun belakangan secara eksplisit diketahui adanya motif ekonomi yang melatar belakangi, agar mampu menguasai sumber kekayaan masing-masing pihak. Ironis, namun inilah fakta yang kita hadapi saat ini. 

Bahkan Xenophone seorang filsuf yang pertama kali menyebutkan istilah ekonomi (perpaduan antara Oikos dan Nomos) itu sendiri tidak pernah membayangkan bahwa sebegitu dahsyat kekuatan sebuah kata, hingga selalu dijadikan pembenaran untuk meluluh lantakan apapun yang menghalangi pengusung kepentingan ini. Yang lebih parah pengerukan keuntungan oleh segelintir penguasa modal dengan melakukan penghisapan dan pemiskinan jutaan masyarakat. justru, dilakukan dengan dalih kemajuan “Ekonomi Global”, tentunya dengan motif yang telah tersusun rapi, terselubung dan tanpa jejak khas layaknya garong mobil kelas kakap (Dijamin aman, lancar dan untung besar). 

Itulah sebabnya mengapa tulisan ini banyak mengusung semangat kegelisahan dan segudang pertanyaan klasik bagi pembaca sekalian sebagai “Homo Economicus” (subjek dalam aktifitas ekonomi maupun objek bagi proses ekonomi itu sendiri), karena saya, anda, kawan maupun lawan anda sekalipun atau siapapun sangat bergantung dengan apa definisi dan pemahaman kita saat ini tentang ekonomi itu sendiri. Apakah ekonomi itu berarti uang harus tumbuh, kaya, fasilitas, nilai, serta kejayaan adalah satu-satunya pilihan bahkan segalanya, atau mungkin kita mengartikan ekonomi itu sebagai aktifitas berbagi, pemerataan, kesederhanaan, kemakmuran bersama dan interaksi sosial?. 

Inilah pilihan yang harus kita tentukan saat ini, bukan atas dasar ketidak tahuan atau kemunafikan, namun atas sebuah keyakinan dan keberpihakan. Dan sekarang sepatutnya sebelum kita telalu jauh mengambil kesimpulan untuk semakin “menenggelamkan” istilah ekonomi dalam jurang kenistaannya, maka koreksilah dahulu berlandaskan atas apa keyakinan hidup anda saat ini serta memihak kepada siapakah kita saat ini, kutub pisitifkah atau negatif, hitam atau putihkah, kaya atau adilkah?. Saya pikir semuanya semakin mudah atau justru semakin rumit, akibat ketidak jelasan apa yang kita yakini dalam hidup serta keengganan kita untuk memihak kepada apa yang seharusnya, maka segalanya menjadi absurd. Inilah hebatnya peradaban yang cenderung ramai dengan hal-hal baru namun sepi akan nilai-nilai kemanusian.

“Bukan ekonomi yang menghancurkan nilai kehidupan,Namun homo economicus-lah yang menyebabkan semua ini…”
(Komunitas Muda Intelligentsia)

Tidak ada komentar: